Bagian sebelumnya: PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) DALAM KONSERVASI (Bagian 1)
Metode yang tergambar dalam Gambar 1 diatas, merupakan metode sampling 'bola salju'. Metode tersebut adalah metode utama yang digunakan untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan dan telah divalidasi sebagai sarana untuk memperoleh sampel yang representatif dari pemangku kepentingan (Duggan et al. 2013).
Banyak evaluasi akademik tentang pemangku kepentingan fokus pada proses keterlibatan (yaitu tujuan normatif keterlibatan pemangku kepentingan). Evaluasi lain fokus pada hasil (terkait dengan tujuan substantif dan/atau instrumental), menjadi hasil sosial (seperti peningkatan kepercayaan, atau resolusi konflik) atau hasil kebijakan (yaitu perubahan 'di tanah' yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kebijakan) (Young et al. 2013).
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan penegelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Schlager dan Ostrom (1992), menjelaskan beberapa rezim kepemilikan sumberdaya yaitu akses terbuka, kepemilikan negara, kepemilikan swasta, dan kepemilikan masyarakat seperti terlihat pada Tabel 1. Adanya berbagai model rezim kepemilikan sumberdaya ini menjadi dasar dalam melakukan identifikasi terhadap siapa-siapa saja pemangku kepentingan terhadap suatu sumberdaya.
Lingkup kepentingan pengelolaan taman nasional
Pemangku kepentingan berperan dalam perlindungan kawasan
Pemangku kepentingan berperan dalam pengembangan ekonomi masyarakat
Pemangku kepentingan berperan dalam pembinaan masyarakat
Pemangku kepentingan berperan dalam peran lainya
Sumber: Maguire et al, (2012)
Menurut Ban et al. (2011) kurangnya pemahaman umum bahwa perikanan merupakan bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dan dinamis dapat menyebabkan lebih banyak potensi konflik, daripada mewujudkan interaksi yang nyata antara tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi manajemen perikanan. Selanjutnya, pemahaman yang buruk untuk motivasi yang mendasari perilaku nelayan dalam respon mereka terhadap isu-isu perikanan, kebijakan, dan peraturan mungkin telah berkontribusi terhadap kegagalan usaha pengelolaan perikanan.
Jones (2008) mengkaji pandangan perwakilan industri perikanan di Barat daya Inggris dianalisis melalui program 51 wawancara dan mengungkapkan beberapa keprihatinan utama. Penelitian yang mengungkapkan berbagai lebih beragam perspektif di antara perwakilan industri perikanan pada isu-isu yang diangkat oleh proposal mengenai zona larang ambil pada daerah perlindungan laut daripada yang sering diasumsikan. Di lain pihak Bacalso et al. (2013) menyatakan peningkatan kapasitas organisasi nelayan yang ada untuk berpartisipasi dalam penilaian sumber daya, monitoring, dan evaluasi adalah salah satu cara. Peningkatan pemahaman managemen sumberdaya pesisir, manajemen perikanan, dan konsep berbasis ekosistem.
Barr (2013), menunjukkan nilai potensial pengintegrasian pendekatan pengelolaan dengan mengintergrasikan lanskap budaya maritim terhadap kawasan konservasi laut melalui sistem sosial - ekologi yang merupakan produk sejarah masyarakat. Ia telah mengemukakan bahwa ide muncul mendefinisikan dan pemahaman "lanskap budaya maritim" mungkin merupakan cara untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang sejarah interaksi manusia atau lingkungan.
Pengalaman dari upaya-upaya pengelolaan sebelumnya lebih mendukung penekanan pada keterlibatan pemangku kepentingan lintas kebutuhan dan komitmen untuk proses publik yang terbuka dan transparan (Gleason et al. 2010; Kirlin et al.2013; Gelcish 2009; Mapstone et al. (2008); Novaczek et al. (2001). Martinez (2008) melakukan studi kasus kawasan lindung laut Puerto Morelos dan memberikan contoh dari inisiatif konservasi laut berbasis masyarakat untuk melindungi ekosistem terumbu karang. Pembentukan dan pemeliharaan MPA ini memiliki lima tahap
Sementara Pulina dan Meleddu (2012) mendefinisikan strategi daerah perlindungan laut dari sudut pandang pemangku kepentingan. Ketika merancang strategi manajemen baru, secara luas diakui bahwa tujuan para pemangku kepentingan yang berbeda adalah penting, meskipun identifikasi dan kepuasan mereka seringkali sulit untuk dicapai. Temuan empiris menunjukkan bahwa, secara keseluruhan para pemangku kepentingan Asinara akan lebih memilih untuk meningkatkan hasil yang berkelanjutan dari jenis komersial, mengurangi konflik batin dan meningkatkan keuntungan dari perikanan.
TWP Gili Matra merupakan salah satu kawasan konservasi laut yang terdiri dari pulau Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Matra) merupakan tiga pulau kecil yang terletak di desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pengelolaan pariwisata di Gili Matra melibatkan multi-sektor dan lembaga. Suana et al. (2012), menyatakan bahwa para pemangku kepentingan yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan ekosistem dan pariwisata di Gili Matra yaitu pemerintah, masyarakat dan pengusaha. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Departemen Pariwisata, BKKPN, KLH, BPN, Pemerintah Desa dan Pendidikan Tinggi. Masyarakat yang terlibat adalah Komunitas Pemuda, Komunitas Nelayan, wisatawan, dan NGO. Dive Center, Boatman, Rental of Cart and Biycycle, Operator Hotel dan Restoran, dan Agen Travel adalah pengusaha yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan ekosistem dan pariwisata di Gili Matra. Pada kawasan TWP Gili Matra masing-masing pemangku kepentingan memiliki peranan yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya. Peran pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem di Gili Matra (Suana et al., 2012).
PEMANGKU KEPENTINGAN
Pengertian Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan dalam konservasi diuraikan menjadi pemerintah (eksekutif dan legislatif) (Jentoft 2004; Cinner et al. 2012); pihak swasta (Jones et al. 2013; Campbell et al. 2013); masyarakat (Harkes dan Novaczek 2002; Evans et al. 1997); institusi pendidikan (Jentoft 2004), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan LSM Internasional di bidang konservasi ( seperti: WWF, Coral Triangle Center, The Nature Conservation) (Bottema dan Bush 2012). Penduduk lokal memiliki hak di lingkungan laut dan pesisir, sehingga pemangku kepentingan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melalui pemanfaatan langsung sumberdaya atau berhubungan dengan lingkungan laut dan konservasi (Abecasis et al. 2013).
Pemangku kepentingan merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap sumberdaya. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai pemangku kepentingan jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta (2008) yaitu mempunyai: (1) kekuasaan, (2) legitimasi, (3) kepentingan terhadap sumberdaya. Menurut Clarkson Centre for Business Ethics (1999) dalam Siregar (2011), pemangku kepentingan dapat dipisahkan menjadi:
- Pemangku kepentingan utama: merupakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan secara ekonomi terhadap sumberdaya dan menanggung risikonya. Contoh: investor, kreditor,karyawan, pemerintah, komunitas lokal.
- Pemangku kepentingan sekunder: dimana sifat hubungan keduanya saling mempengaruhi namun kelangsungan hidup suatu sumberdaya secara ekonomi tidak ditentukan oleh pemangku kepentingan jenis ini. Contoh adalah media dan kelompok kepentingan seperti lembaga sosial masyarakat, serikat buruh, dan sebagainya
Identifikasi Pemangku Kepentingan
Analisis pemangku kepentingan mengacu pada berbagai alat untuk identifikasi dan deskripsi pemangku kepentingan atas dasar atribut, keterkaitan, dan kepentingan para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan isu atau sumber daya yang diberikan. Tujuan dari analisis pemangku kepentingan adalah (Maguire et al. 2012):
- Untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan pemangku yang berkepentingan dan/atau pengaruh terhadap sistem.
- Untuk membangun pemahaman tentang perubahan dan konflik yang ada dalam sistem.
- Untuk menentukan siapa yang dapat menciptakan perubahan.
- Untuk mengidentifikasi hubungan yang ada.
- Untuk menetapkan jenis partisipasi yang paling cocok untuk pemangku kepentingan yang berbeda.
- Untuk menentukan pengelolaan yang paling tepat dari sistem.
Analisis pemangku kepentingan merupakan suatu pendekatan untuk memahami suatu sistem, dan perubahan itu, dengan mengidentifikasi pelaku utama atau pemangku kepentingan dan menilai kepentingan masing-masing dalam sistem itu. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yaitu analisis, formulasi, penilaian dan evaluasi proyek dan kebijakan, penelitian tentang pengelolaan sumber daya alam dan perubahan yang terkait, memberikan dukungan sistematis untuk meningkatkan untuk pergi proses manajemen koperasi, alat manajemen dalam pembuatan kebijakan dan alat untuk identifikasi konflik (Maguire et al. 2012) (Gambar 1).
Gambar 1. Komponen dalam analisis pemangku kepentingan (Maguire et al. 2012)
|
Metode yang tergambar dalam Gambar 1 diatas, merupakan metode sampling 'bola salju'. Metode tersebut adalah metode utama yang digunakan untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan dan telah divalidasi sebagai sarana untuk memperoleh sampel yang representatif dari pemangku kepentingan (Duggan et al. 2013).
Banyak evaluasi akademik tentang pemangku kepentingan fokus pada proses keterlibatan (yaitu tujuan normatif keterlibatan pemangku kepentingan). Evaluasi lain fokus pada hasil (terkait dengan tujuan substantif dan/atau instrumental), menjadi hasil sosial (seperti peningkatan kepercayaan, atau resolusi konflik) atau hasil kebijakan (yaitu perubahan 'di tanah' yang berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kebijakan) (Young et al. 2013).
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan penegelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Schlager dan Ostrom (1992), menjelaskan beberapa rezim kepemilikan sumberdaya yaitu akses terbuka, kepemilikan negara, kepemilikan swasta, dan kepemilikan masyarakat seperti terlihat pada Tabel 1. Adanya berbagai model rezim kepemilikan sumberdaya ini menjadi dasar dalam melakukan identifikasi terhadap siapa-siapa saja pemangku kepentingan terhadap suatu sumberdaya.
Tabel 1.Rezim kepemilikan sumberdaya
Rezim Kepemilikan
|
Keterangan
|
Akses terbuka
Kepemilikan Negara
Kepemilikan Swasta
Kepemilikan masyarakat
|
Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya.
Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya.
Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah
|
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa contoh studi kasus mengenai tata kelola yang berhubungan dengan pemangku kepentingan dalam mengelola sumberdaya alam dengan menggunakan analisis manajemen kolaboratif. Menurut Marshall, (1995); Tadjudin (2009) dalam Wulandari dan Sumarti, (2011) kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi. Dengan demikian, kolaborasi itu merupakan resolusi konflik yang akan menghasilkan situasi yang saling menguntungkan dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat tidak merugikan.
Pengelolaan kolaboratif adalah suatu metode untuk mengakomodasi berbagai kepentingan di sekitar kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan untuk penyelesaian permasalahan dan penyelesaian konflik, sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pemangku kepentingan dalam konflik multipihak. Oleh karena itu pendekatan kolaborasi sering disebut juga sebagai jembatan untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan adalah sumberdaya manusia (SDM) yang berarti bagi suatu sistem (Meyer 2001) dalam (Winara dan Mukhtar 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Winaradan Mukhtar (2011), tentang potensi kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih di Papua menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan terdiri atas delapan kategori, antara lain pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, LSM, lembaga swasta, TNI dan Kepolisian, masyarakat adat dan lembaga keagamaan. Pemangku kepentingan terhadap kawasan TN Teluk Cenderawasih termasuk lengkap dan mewakili semua sektor yang berpotensi untuk membangun sistem kolaborasi (Gambar 2).
Pengelolaan kolaboratif adalah suatu metode untuk mengakomodasi berbagai kepentingan di sekitar kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan untuk penyelesaian permasalahan dan penyelesaian konflik, sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pemangku kepentingan dalam konflik multipihak. Oleh karena itu pendekatan kolaborasi sering disebut juga sebagai jembatan untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan adalah sumberdaya manusia (SDM) yang berarti bagi suatu sistem (Meyer 2001) dalam (Winara dan Mukhtar 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Winaradan Mukhtar (2011), tentang potensi kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih di Papua menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan terdiri atas delapan kategori, antara lain pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, LSM, lembaga swasta, TNI dan Kepolisian, masyarakat adat dan lembaga keagamaan. Pemangku kepentingan terhadap kawasan TN Teluk Cenderawasih termasuk lengkap dan mewakili semua sektor yang berpotensi untuk membangun sistem kolaborasi (Gambar 2).
Gambar 2. Peran Pemangku Kepentingan Terhadap Pengelolaan TN Teluk Cenderawasih |
Keterangan:
Selanjutnya Bawole et al. (2011) menegaskan konsep penatakelolaan (governance) menjadi bagian utama dari berbagai forum konservasi internasional yang menekankan perlunya partisipasi masyarakat, organisasi nonpemerintah (LSM), dan sektor swasta/publik dalam pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi. Penatakelolaan kawasan konservasi mengacu pada interaksi antara struktur, proses, dan tradisi masyarakat yang menentukan bagaimana kebijakan diterapkan, bagaimana keputusan dibuat, dan siapa yang bertanggung jawab atas hasil keputusan yang diambil.
Maguire et al. (2012), membagi peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut berdasarkan area darat dan laut. Pengelolaan sumberdaya di perairan pantai dan laut lepas pantai memiliki kelompok dan peran yang berbeda dari pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan di perairan pantai dan laut lepas terdiri dari dua kelompok utama yaitu otoritas pengatur dan para pengguna. Kedua kelompok pemangku kepentingan tersebut memiliki peran yang berbeda pada masing-masing kawasan (perairan pantai dan laut lepas). Pemiliki Kewenangan Laut Lokal, Badan Publik Non Departemen 1, Badan Publik Non Departemen 2, Pihak Pelabuhan dan Kewenangan Taman Nasional memiliki peran sebagai pemangku kepentingan primer pada perairan pantai, tetapi memiliki peran sebagai pemangku kepentingan sekunder pada laut lepas pantai (Tabel 2). Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan kekuatan dalam pengelolaan perairan pantai dan laut lepas pantai.
Maguire et al. (2012), membagi peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut berdasarkan area darat dan laut. Pengelolaan sumberdaya di perairan pantai dan laut lepas pantai memiliki kelompok dan peran yang berbeda dari pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan di perairan pantai dan laut lepas terdiri dari dua kelompok utama yaitu otoritas pengatur dan para pengguna. Kedua kelompok pemangku kepentingan tersebut memiliki peran yang berbeda pada masing-masing kawasan (perairan pantai dan laut lepas). Pemiliki Kewenangan Laut Lokal, Badan Publik Non Departemen 1, Badan Publik Non Departemen 2, Pihak Pelabuhan dan Kewenangan Taman Nasional memiliki peran sebagai pemangku kepentingan primer pada perairan pantai, tetapi memiliki peran sebagai pemangku kepentingan sekunder pada laut lepas pantai (Tabel 2). Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan kekuatan dalam pengelolaan perairan pantai dan laut lepas pantai.
Tabel 2. Klasifikasi pemangku kepentingan
Klasifikasi Wilayah Laut Perairan pantai
|
Klasifikasi Kawasan Laut Lepas Pantai
|
||||||
Primer
|
Sekunder
|
Tersier
|
Primer
|
Sekunder
|
Tersier
|
||
Otoritas Pengatur
|
|||||||
Pemilik Kewenangan Laut local
|
√
|
√
|
|||||
Badan Publik Non Departemen 1
|
√
|
√
|
|||||
Badan Publik Non Departemen 2
|
√
|
√
|
|||||
Pihak Pelabuhan
|
√
|
√
|
|||||
Kewenangan Taman Nasional
|
√
|
√
|
|||||
Warisan
|
√
|
√
|
|||||
Pengelola Perikanan
|
√
|
√
|
|||||
Pemerintah Daerah
|
√
|
||||||
Para Pengguna
|
|||||||
Nelayan dan industri Penangkapan
|
√
|
√
|
|||||
Industri Penangkapan
|
√
|
√
|
|||||
Konservasi
|
√
|
√
|
|||||
Pengelola Daratan
|
√
|
√
|
|||||
Wisata Pemancingan
|
√
|
√
|
|||||
Wisata Pelayaran
|
√
|
√
|
|||||
Kemitraan Pesisir
|
√
|
√
|
|||||
Konsultan
|
√
|
√
|
|||||
Lembaga Pendidikan
|
√
|
√
|
Berdasarkan analisisnya (Maguire et al. 2012) mendapatkan bahwa peran dari masing-masing pemangku kepentingan berdasarkan area dapat dikelompokkan berdasarkan matriks (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Matrik kepentingan yang mempengaruhi di daratan pesisir (Maguire, et al.2012) |
Gambar 4. Matrik kepentingan yang mempengaruhi di laut lepas (Maguireet al.2012) |
Pada gambar 3 dan 4 memiliki kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang berbeda dalam pembagian kekuatan dan kepentingannya. Terdapat empat kategori peran pemangku kepentingan dalam matriks yaitu bagian A, B, C dan D. Kelompok pemangku kepentingan yang terdapat pada bagian A merupakan para pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan dan kepentingan tinggi. Bagian B merupakan para pemangku kepentingan dengan kepentingan tinggi dan kekuatan rendah. Bagian C merupakan pemangku kepentingan dengan kepentingan dan kekuatan yang rendah. Bagian D merupakan pemangku kepentingan dengan kekuatan tinggi dan kepentingan rendah. Kelompok A merupakan kelompok “pemain kunci” dalam pengelolaan sumberdaya dimana fokus kelompok ini kepada pembuatan aturan dan keputusan.
Keterkaitan Pemangku Kepentingan dalam Konservasi
Menurut Ban et al. (2011) kurangnya pemahaman umum bahwa perikanan merupakan bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dan dinamis dapat menyebabkan lebih banyak potensi konflik, daripada mewujudkan interaksi yang nyata antara tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi manajemen perikanan. Selanjutnya, pemahaman yang buruk untuk motivasi yang mendasari perilaku nelayan dalam respon mereka terhadap isu-isu perikanan, kebijakan, dan peraturan mungkin telah berkontribusi terhadap kegagalan usaha pengelolaan perikanan.
Jones (2008) mengkaji pandangan perwakilan industri perikanan di Barat daya Inggris dianalisis melalui program 51 wawancara dan mengungkapkan beberapa keprihatinan utama. Penelitian yang mengungkapkan berbagai lebih beragam perspektif di antara perwakilan industri perikanan pada isu-isu yang diangkat oleh proposal mengenai zona larang ambil pada daerah perlindungan laut daripada yang sering diasumsikan. Di lain pihak Bacalso et al. (2013) menyatakan peningkatan kapasitas organisasi nelayan yang ada untuk berpartisipasi dalam penilaian sumber daya, monitoring, dan evaluasi adalah salah satu cara. Peningkatan pemahaman managemen sumberdaya pesisir, manajemen perikanan, dan konsep berbasis ekosistem.
Barr (2013), menunjukkan nilai potensial pengintegrasian pendekatan pengelolaan dengan mengintergrasikan lanskap budaya maritim terhadap kawasan konservasi laut melalui sistem sosial - ekologi yang merupakan produk sejarah masyarakat. Ia telah mengemukakan bahwa ide muncul mendefinisikan dan pemahaman "lanskap budaya maritim" mungkin merupakan cara untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang sejarah interaksi manusia atau lingkungan.
Pengalaman dari upaya-upaya pengelolaan sebelumnya lebih mendukung penekanan pada keterlibatan pemangku kepentingan lintas kebutuhan dan komitmen untuk proses publik yang terbuka dan transparan (Gleason et al. 2010; Kirlin et al.2013; Gelcish 2009; Mapstone et al. (2008); Novaczek et al. (2001). Martinez (2008) melakukan studi kasus kawasan lindung laut Puerto Morelos dan memberikan contoh dari inisiatif konservasi laut berbasis masyarakat untuk melindungi ekosistem terumbu karang. Pembentukan dan pemeliharaan MPA ini memiliki lima tahap
1. Identifikasi tokoh masyarakat yang akan berpartisipasi dalam proyek;
2. Generasi konsensus mengenai kebutuhan untuk melindungi terumbu karang melalui diskusi antara para pemangku kepentingan lokal, LSM dan ilmuwan karang;
3. Keterlibatan instansi pemerintah dalam menetapkan status MPA;
4. Mengambil-alih pengambilan keputusan oleh lembaga pemerintah terpusat;
5. Terus menerus proses pemecahan masalah antara pemerintah dan pemangku kepentingan.
Sementara Pulina dan Meleddu (2012) mendefinisikan strategi daerah perlindungan laut dari sudut pandang pemangku kepentingan. Ketika merancang strategi manajemen baru, secara luas diakui bahwa tujuan para pemangku kepentingan yang berbeda adalah penting, meskipun identifikasi dan kepuasan mereka seringkali sulit untuk dicapai. Temuan empiris menunjukkan bahwa, secara keseluruhan para pemangku kepentingan Asinara akan lebih memilih untuk meningkatkan hasil yang berkelanjutan dari jenis komersial, mengurangi konflik batin dan meningkatkan keuntungan dari perikanan.
TWP Gili Matra merupakan salah satu kawasan konservasi laut yang terdiri dari pulau Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Matra) merupakan tiga pulau kecil yang terletak di desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pengelolaan pariwisata di Gili Matra melibatkan multi-sektor dan lembaga. Suana et al. (2012), menyatakan bahwa para pemangku kepentingan yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan ekosistem dan pariwisata di Gili Matra yaitu pemerintah, masyarakat dan pengusaha. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Departemen Pariwisata, BKKPN, KLH, BPN, Pemerintah Desa dan Pendidikan Tinggi. Masyarakat yang terlibat adalah Komunitas Pemuda, Komunitas Nelayan, wisatawan, dan NGO. Dive Center, Boatman, Rental of Cart and Biycycle, Operator Hotel dan Restoran, dan Agen Travel adalah pengusaha yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan ekosistem dan pariwisata di Gili Matra. Pada kawasan TWP Gili Matra masing-masing pemangku kepentingan memiliki peranan yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya. Peran pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem di Gili Matra (Suana et al., 2012).
Kelompok
|
Pemangku Kepentingan
|
Peran
|
A
|
Pemerintah
|
|
Departemen Pariwisata
|
Pembuatan kebijakan, fasilitasi dan pemantauan pengelolaan pariwisata
|
|
BKKPN
|
Pembuatan kebijakan, fasilitasi dan pemantauan pengelolaan pesisir dan kelautan
|
|
KLH
|
Pembuatan kebijakan, fasilitasi dan pemantauan pengelolaan lingkungan
|
|
BPN
|
Para pembuat kebijakan dan izin penggunaan lahan
|
|
Pemerintah Desa
|
Mendorong dan memfasilitasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
|
|
Pendidikan Tinggi
|
Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
|
|
B
|
Masyarakat
|
|
Komunitas Pemuda
|
Pengorganisasian dan meningkatkan peran pemuda dalam pengelolaan ekosistem
|
|
Komunitas Nelayan
|
Pengorganisasian dan peningkatan peran nelayan dalam
|
|
pelestarian terumbu karang sebagai habitat ikan dan obyek wisata bawah laut
|
||
NGO
|
Mendorong, mediasi dan advokasi pengelolaan lingkungan wisata
|
|
Wisatawan
|
Perilaku wisatawan sangat berpengaruh pada kondisi alam ekosistem
|
|
C
|
Pengusaha
|
|
Dive Center
|
Menyediakan kegiatan wisata bawah air
|
|
Boatman
|
Menyediakan transportasi laut
|
|
Rental of Cart and Biycycle
|
Memberikan keranjang atau sepeda untuk jalan-jalan
|
|
Operators of Hotels and Restaurants
|
Menyediakan akomodasi untuk wisatawan
|
|
Travel Agents
|
Menyediakan informasi dan panduan wisata untuk wisatawa
|
KESIMPULAN
Peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat penting. Keterlibatan pemangku kepentingan merupakan kunci sukses perencanaan konservasi, serta perencanaan spasial yang lebih luas untuk wilayah pesisir dan laut. Perencanaan dengan melibatkan berbagai stakeholder akan lebih efektif dengan pendekatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan perencanaan dan karakteristik daerah.
Dengan demikian, proses perencanaan yang melibatkan pemangku kepentingan dan yang diimplementasikan secara luas pada wilayah berbeda harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi karakteristik wilayah yang unik dan beradaptasi dengan konteks yang berbeda serta dinamis. Kapasitas ini diperlukan untuk mengadaptasi proses perencanaan pada tingkat dasar dengan mempertahankan struktur manajemen yang fleksibel dan menggabungkan pengalaman dari upaya perencanaan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abecasis RC, Schmidt L, Longnecker N, Clifton J. 2013. Implications of community and stakeholder perceptions of the marine environment and its conservation for MPA management in a small Azorean island. Ocean Coastal Management. 84(2013):208-219.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.08.009.
Bacalso RTM, Juario JV, Armada NB. 2013. Fishers’ choice of alternative management scenarios: A case study in the Danajon Bank, Central Philippines. Ocean Coastal Management. 84(2013):40-53.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.07.008.
Ban NC, Adams VM, Almany GR, Ban S, Cinner JE, McCook LJ, Mills M, Pressey RL, White A. 2011. Designing, implementing and managing marine protected areas: Emerging trends and opportunities for coral reef nations. J Exp Mar Biol Ecol. 408(2011):21-31.doi: 10.1016/j.jembe.2011.07.023.
Barr BW. 2013. Understanding and managing marine protected areas through integrating ecosystem based management within maritime cultural landscapes: Moving from theory to practice. Ocean Coastal Management. 84(2013):184-192.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.08.011.
Bawole R, Yulianda F, Bengen DG, dan Fahrudin A. 2011. Governance Sustainability of Traditional Use Zone within Marine Protected Area National Park of Cenderawasih Bay, West Papua. Artikel Ilmiah. 2(2011):71–78
Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding: Bogor 29 Oktober s/d 3 November 2001. Bogor [editorial]: Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan, IPB.
Bottema MJM, Bush SR. 2012. The durability of private sector-led marine conservation: A case study of two entrepreneurial marine protected areas in Indonesia. Ocean Coastal Management. 61(2012):38-48.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.01.004.
Bray MN, Rist P. 2009. Co-management and protected area management: Achieving effective management of a contested site, lessons from the Great Barrier Reef World Heritage Area (GBRWHA). Marine Policy. 33(2009):118-127.doi: 10.1016/j.marpol.2008.05.002.
Brown, K.; Tompkins, E. and Adger, W.N. 2001. Trade-Off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge. UEA Norwich.
Budimanta A. 2008. Corporate Social Responsibility Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, Cetakan Kedua. Jakarta: ICSD.
Campbell SJ, Kartawijaya T, Yulianto I, Prasetia R, Clifton J. 2013. Co-management approaches and incentives improve management effectiveness in the Karimunjawa National Park, Indonesia. Marine Policy. 41(2013):72-79.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.022.
Cinner JE, Basurto X, Fidelman P, Kuange J, Lahari R, Mukminin A. 2012. Institutional designs of customary fisheries management arrangements in Indonesia, Papua New Guinea, and Mexico. Marine Policy. 36(2012):278-285.doi: 10.1016/j.marpol.2011.06.005.
Clifton J. 2012. Refocusing conservation through a cultural lens: Improving governance in the Wakatobi National Park, Indonesia. Marine Policy. 41(2013)80-86.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.015.
Couix N, Hazard L. 2013. When the future of biodiversity depends on researchers’ and stakeholders’ thought-styles. Futures. 53(2013):13-21.doi: 10.1016/j.futures.2013.09.005.
Dirhamsyah D. 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources management: A critical review and recommendation. Ocean Coastal Management. 49(2006):68-92.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2005.09.001.
Duggan DE, Farnsworth KD, Kraak SBM. 2013. Identifying functional stakeholder clusters to maximise communication for the ecosystem approach to fisheries management. Marine Policy. 42(2013):56-67.doi: 10.1016/j.marpol.2013.01.023.
Dygico M, Songco A, White AT, Green SJ. 2013. Achieving MPA effectiveness through application of responsive governance incentives in the Tubbataha reefs. Marine Policy. 41 (2013):87–94.doi:10.1016/j.marpol.2012.12.031.
European marine protected areas (MPAs) as tools for fisheries management and conservation [editorial]. 2008. Nature Conservation. 16(2008):187-192.doi: 10.1016/j.jnc.2008.09.008.
Evans SM, Gill ME, Retraubun ASW, Abrahamz J, Dangeubun J. 1997. Traditional management practices and the conservation of the gastropod (Trochus nilitocus) and fish stocks in the Maluku Province (eastern Indonesia). Fisheries Research. 31(1997):83-91.
Fox E, Poncelet E, Connor D, Vasques J, Ugoretz J, McCreary S, Monié D, Harty M, Gleason M. 2013. Adapting stakeholder processes to region-specific challenges in marine protected area network planning. Ocean Coastal Management. 74(2013):24-33.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.07.008.
Gleason M, Fox E, Ashcraft S, Vasques J, Whiteman E, Serpa P, Saarman E, Caldwell M, Frimodig A, Miller-Henson, et al. 2013. Designing a network of marine protected areas in California: achievements, costs, lessons learned, and challenges ahead. Ocean Coastal Management. 74(2013):90-101.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.08.013.
Gleason M, McCreary S, Henson MM, Ugoretz J, Fox E, Merrifield M, McClintock W, Serpa P, Hoffman K. 2010. Science-based and stakeholder-driven marine protected area network planning: A successful case study from north central California. Ocean Coastal Management. 53(2010):52-68.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2009.12.001.
Gray S, Chan A, Clark D, Jordan R. 2011. Modeling the integration of stakeholder knowledge in social–ecological decision-making: Benefits and limitations to knowledge diversity. Ecological Modelling. 229(2012):88-96.doi: 10.1016/j.ecolmodel.2011.09.011.
Hardjasoemantri K. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta [ID]: UGM Press.
Harkes I, Novaczek I. 2002. Presence, performance, and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia. Ocean Coastal Management. 45(2002):237-260.
Heazle M, Butcher JG. 2006. Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards a regional regulatory regime. Marine Policy. 31(2007):276-286.doi: 10.1016/j.marpol.2006.08.006.
Heck N, Dearden P, McDonald A. 2011. Stakeholders’ expectations towards a proposed marine protected area: A multi-criteria analysis of MPA performance criteria. Ocean Coastal Management. 54(2011):687-695.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2011.07.003.
Himes AH. 2007. Performance indicators in MPA management: Using questionnaires to analyze stakeholder preferences. Ocean Coastal Management. 50(2007):329-351.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2006.09.005.
Jentoft S. 2003. Institutions in fisheries: what they are, what they do, and how they change. Marine Policy. 28(2004):137-149.doi: 10.1016/S0308-597X(03)00085-X.
Jones PJS, Qiu W, De Santo EM. 2013. Governing marine protected areas: Social–ecological resilience through institutional diversity. Marine Policy. 41(2013):5-13.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.026.
Jones PJS. 2008. Fishing industry and related perspectives on the issues raised by no-take marine protected area proposals. Marine Policy. 32(2008):749-758.doi: 10.1016/j.marpol.2007.12.009.
Kirlin J, Caldwell M, Gleason M, Weber M, Ugoretz J, Fox E, Miller-Henson M,2013. California's Marine Life Protection Act Initiative: supporting implementationof legislation establishing a statewide network of marine protectedareas. Ocean Coastal Management. 74 (2013):3-13.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.08.015.
Lopes R, Videira N. 2013. Valuing marine and coastal ecosystem services: An integrated participatory framework. Ocean Coastal Management. 84(2013)153-162.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.08.001.
Maguire B, J Potts , S Fletcher. 2012. The Role of Stakeholders in The Marine Planning Process-Stakeholder Analysis Within The Solent, United Kingdom. Marine Policy (36): 246–257.
Mangi SC, Austen MC. 2008. Perceptions of stakeholders towards objectives and zoning of marine-protected areas in southern Europe. Nature Conservation. 16(2008):271-280.doi: 10.1016/j.jnc.2008.09.002.
Manoppo, Norma M. P. 2002. Kajian Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa, Suatu Pendekatan Cell Based Modeling. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Mapstone BD, Little LR, Punt AE, Davies CR, Smith ADM, Pantuse F, McDonald AD, Williams AJ, Jones A. 2008. Management strategy evaluation for line fishing in the Great Barrier Reef:Balancing conservation and multi-sector fishery objectives. Fisheries Research. 94(2008):315-329.doi: 10.1016/j.fishres.2008.07.013.
Martinez RER. 2008. Community involvement in marine protected areas:The case of Puerto Morelos reef, Me´xico. Journal of Environmental Management. 88(2008):1151-1160.doi: 10.1016/j.jenvman.2007.06.008.
Novaczek I, Sopacua J, Harkes I. 2001. Fisheries management in Central Maluku, Indonesia, 1997–98. Marine Policy. 25(2001):239-249.
Ounanian K, Delaney A, Raakjær J, Monsalve PR. 2012. On unequal footing: Stakeholder perspectives on the marine strategy framework directive as a mechanism of the ecosystem-based approach to marine management. Marine Policy. 26(2012):658-666.doi: 10.1016/j.marpol.2011.10.008.
Patlis J. New legal initiatives for natural resource management in a changing Indonesia: the promise, the fear and the unknown. In: Resosudarmo BP, editor. The politics and economics of Indonesia’s natural resources. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies; 2005. p. 231–47.
Petrosillo I, Zurlini G, Corlian ME, Zaccarelli N, Dadamo M. 2007. Tourist perception of recreational environment and management in a marine protected area. Landscape Urban Planning. 79(2007):29-37.doi: 10.1016/j.landurbplan.2006.02.017.
Pulina M, Meleddu M. 2012. Defining a marine protected area strategy: A stakeholder perspective. Ocean Coastal Management. 66(2012):46-55.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.05.003.
Reed MS. 2008. Stakeholder participation for environmental management: A literature review. Biology Conservation. 141(2008):2417-2431.doi: 10.1016/j.biocon.2008.07.014.
Ruckelshaus M, McKenzie E, Tallis H, Guerry A, Daily G, Kareiva P, Polasky S, Ricketts T, Bhagabati N, Wood SA et al. 2013. Notes from the field: Lessons learned from using ecosystem service approaches to inform real-world decisions. Ecology Economic. Fortcoming.
Satyanarayana B, Mulder S, Jayatissa LP, Guebas FD. 2013. Are the mangroves in the Galle-Unawatuna area (Sri Lanka) at risk? A social-ecological approach involving local stakeholders for a better conservation policy. Ocean Coastal Management. 71(2013):225-237.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.10.008.
Schomers S, Matzdorf B. 2013. Payments for ecosystem services: A review and comparison of developing and industrialized countries. Ecosystem Services. Forthcoming
Schlager E, Ostrom E, 1992. Property rights regimes and natural resources:a conceptual analysis. Land Economics. 68(1992):249-262.
Siregar M. 2011. Peran Stakeholder Terhadap Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Teluk Cendrawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Soedharma D. 1999. Pengelolaan dan Konservasi Terumbu Karang. Bahan Kuliah IKL.722. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stamieszkin K, Wielgus J, Gerber LR. 2009. Management of a marine protected area for sustainability and conflict resolution: Lessons from Loreto Bay National Park (Baja California Sur, Mexico). Ocean Coastal Management. 52(2009):449-458.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2009.07.006.
Suana IW, Ahyadi H. 2012. Mapping of Ecosystem Management Problems in Gili Meno, Gili Air and Gili Trawangan (Gili Matra) Through Participative Approach. Coastal Development (16) 2012 : 94-101
Stoorvogel JJ, Antle JM, Crissman CC, Bowen W. 2001. The Tradeoff Analysis Model Version 3.1: A Policy Decision Support System for Agriculture. Wageningen: Laboratory of Soil Science and Geology, Wageningen University, The Netherlands. (ISBN: 90-6754-660-7)
Sultana P, Abeyasekera S. 2008. Effectiveness of participatory planning for community management of fisheries in Bangladesh. Journal of Environmental Management. 86(2008):201-213.doi: 10.1016/j.jenvman.2006.12.027.
Thorburn CC. 2000. Changing Customary Marine Resource Management Practice and Institutions: The Case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia. World Development. 28(8):1461-1479.
Voyer M, Dreher T, Gladstone W, Goodall H. 2013. Who cares wins: The role of local news and news sources in influencing community responses to marine protected areas. Ocean Coastal Management. 85(2013):29-38.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.09.002.
Winara A, Mukhtar AS. 2011. Potency of Collaborative on Cenderawasih Bay National Park Management in Papua. Jurnal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam. 3(2011):217-226.
Wulandari, Sumarti T. 2011. Impementation of Colaborative Management on Community Based Ecotourism. Jurnal Transformasi Sosiologi Komunikasi dan Ekologi Manusia.01(2011):32-50.
Yang CM, Li JJ, Chiang HC. 2011. Stakeholders’ perspective on the sustainable utilization of marine protected areas in Green Island, Taiwan. Ocean Coastal Management. 54(2011):771-780.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2011.08.006.
Young JC, Jordan A, Searle KR, Butler A, Chapman DS, Simmons P, Watt AD. 2013. Does stakeholder involvement really benefit biodiversity conservation?. Biology Conservation. 158(2013):359-370.doi: 10.1016/j.biocon.2012.08.018.
Bacalso RTM, Juario JV, Armada NB. 2013. Fishers’ choice of alternative management scenarios: A case study in the Danajon Bank, Central Philippines. Ocean Coastal Management. 84(2013):40-53.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.07.008.
Ban NC, Adams VM, Almany GR, Ban S, Cinner JE, McCook LJ, Mills M, Pressey RL, White A. 2011. Designing, implementing and managing marine protected areas: Emerging trends and opportunities for coral reef nations. J Exp Mar Biol Ecol. 408(2011):21-31.doi: 10.1016/j.jembe.2011.07.023.
Barr BW. 2013. Understanding and managing marine protected areas through integrating ecosystem based management within maritime cultural landscapes: Moving from theory to practice. Ocean Coastal Management. 84(2013):184-192.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.08.011.
Bawole R, Yulianda F, Bengen DG, dan Fahrudin A. 2011. Governance Sustainability of Traditional Use Zone within Marine Protected Area National Park of Cenderawasih Bay, West Papua. Artikel Ilmiah. 2(2011):71–78
Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding: Bogor 29 Oktober s/d 3 November 2001. Bogor [editorial]: Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan, IPB.
Bottema MJM, Bush SR. 2012. The durability of private sector-led marine conservation: A case study of two entrepreneurial marine protected areas in Indonesia. Ocean Coastal Management. 61(2012):38-48.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.01.004.
Bray MN, Rist P. 2009. Co-management and protected area management: Achieving effective management of a contested site, lessons from the Great Barrier Reef World Heritage Area (GBRWHA). Marine Policy. 33(2009):118-127.doi: 10.1016/j.marpol.2008.05.002.
Brown, K.; Tompkins, E. and Adger, W.N. 2001. Trade-Off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge. UEA Norwich.
Budimanta A. 2008. Corporate Social Responsibility Alternatif bagi Pembangunan Indonesia, Cetakan Kedua. Jakarta: ICSD.
Campbell SJ, Kartawijaya T, Yulianto I, Prasetia R, Clifton J. 2013. Co-management approaches and incentives improve management effectiveness in the Karimunjawa National Park, Indonesia. Marine Policy. 41(2013):72-79.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.022.
Cinner JE, Basurto X, Fidelman P, Kuange J, Lahari R, Mukminin A. 2012. Institutional designs of customary fisheries management arrangements in Indonesia, Papua New Guinea, and Mexico. Marine Policy. 36(2012):278-285.doi: 10.1016/j.marpol.2011.06.005.
Clifton J. 2012. Refocusing conservation through a cultural lens: Improving governance in the Wakatobi National Park, Indonesia. Marine Policy. 41(2013)80-86.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.015.
Couix N, Hazard L. 2013. When the future of biodiversity depends on researchers’ and stakeholders’ thought-styles. Futures. 53(2013):13-21.doi: 10.1016/j.futures.2013.09.005.
Dirhamsyah D. 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources management: A critical review and recommendation. Ocean Coastal Management. 49(2006):68-92.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2005.09.001.
Duggan DE, Farnsworth KD, Kraak SBM. 2013. Identifying functional stakeholder clusters to maximise communication for the ecosystem approach to fisheries management. Marine Policy. 42(2013):56-67.doi: 10.1016/j.marpol.2013.01.023.
Dygico M, Songco A, White AT, Green SJ. 2013. Achieving MPA effectiveness through application of responsive governance incentives in the Tubbataha reefs. Marine Policy. 41 (2013):87–94.doi:10.1016/j.marpol.2012.12.031.
European marine protected areas (MPAs) as tools for fisheries management and conservation [editorial]. 2008. Nature Conservation. 16(2008):187-192.doi: 10.1016/j.jnc.2008.09.008.
Evans SM, Gill ME, Retraubun ASW, Abrahamz J, Dangeubun J. 1997. Traditional management practices and the conservation of the gastropod (Trochus nilitocus) and fish stocks in the Maluku Province (eastern Indonesia). Fisheries Research. 31(1997):83-91.
Fox E, Poncelet E, Connor D, Vasques J, Ugoretz J, McCreary S, Monié D, Harty M, Gleason M. 2013. Adapting stakeholder processes to region-specific challenges in marine protected area network planning. Ocean Coastal Management. 74(2013):24-33.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.07.008.
Gleason M, Fox E, Ashcraft S, Vasques J, Whiteman E, Serpa P, Saarman E, Caldwell M, Frimodig A, Miller-Henson, et al. 2013. Designing a network of marine protected areas in California: achievements, costs, lessons learned, and challenges ahead. Ocean Coastal Management. 74(2013):90-101.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.08.013.
Gleason M, McCreary S, Henson MM, Ugoretz J, Fox E, Merrifield M, McClintock W, Serpa P, Hoffman K. 2010. Science-based and stakeholder-driven marine protected area network planning: A successful case study from north central California. Ocean Coastal Management. 53(2010):52-68.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2009.12.001.
Gray S, Chan A, Clark D, Jordan R. 2011. Modeling the integration of stakeholder knowledge in social–ecological decision-making: Benefits and limitations to knowledge diversity. Ecological Modelling. 229(2012):88-96.doi: 10.1016/j.ecolmodel.2011.09.011.
Hardjasoemantri K. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta [ID]: UGM Press.
Harkes I, Novaczek I. 2002. Presence, performance, and institutional resilience of sasi, a traditional management institution in Central Maluku, Indonesia. Ocean Coastal Management. 45(2002):237-260.
Heazle M, Butcher JG. 2006. Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards a regional regulatory regime. Marine Policy. 31(2007):276-286.doi: 10.1016/j.marpol.2006.08.006.
Heck N, Dearden P, McDonald A. 2011. Stakeholders’ expectations towards a proposed marine protected area: A multi-criteria analysis of MPA performance criteria. Ocean Coastal Management. 54(2011):687-695.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2011.07.003.
Himes AH. 2007. Performance indicators in MPA management: Using questionnaires to analyze stakeholder preferences. Ocean Coastal Management. 50(2007):329-351.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2006.09.005.
Jentoft S. 2003. Institutions in fisheries: what they are, what they do, and how they change. Marine Policy. 28(2004):137-149.doi: 10.1016/S0308-597X(03)00085-X.
Jones PJS, Qiu W, De Santo EM. 2013. Governing marine protected areas: Social–ecological resilience through institutional diversity. Marine Policy. 41(2013):5-13.doi: 10.1016/j.marpol.2012.12.026.
Jones PJS. 2008. Fishing industry and related perspectives on the issues raised by no-take marine protected area proposals. Marine Policy. 32(2008):749-758.doi: 10.1016/j.marpol.2007.12.009.
Kirlin J, Caldwell M, Gleason M, Weber M, Ugoretz J, Fox E, Miller-Henson M,2013. California's Marine Life Protection Act Initiative: supporting implementationof legislation establishing a statewide network of marine protectedareas. Ocean Coastal Management. 74 (2013):3-13.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.08.015.
Lopes R, Videira N. 2013. Valuing marine and coastal ecosystem services: An integrated participatory framework. Ocean Coastal Management. 84(2013)153-162.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.08.001.
Maguire B, J Potts , S Fletcher. 2012. The Role of Stakeholders in The Marine Planning Process-Stakeholder Analysis Within The Solent, United Kingdom. Marine Policy (36): 246–257.
Mangi SC, Austen MC. 2008. Perceptions of stakeholders towards objectives and zoning of marine-protected areas in southern Europe. Nature Conservation. 16(2008):271-280.doi: 10.1016/j.jnc.2008.09.002.
Manoppo, Norma M. P. 2002. Kajian Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa, Suatu Pendekatan Cell Based Modeling. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Mapstone BD, Little LR, Punt AE, Davies CR, Smith ADM, Pantuse F, McDonald AD, Williams AJ, Jones A. 2008. Management strategy evaluation for line fishing in the Great Barrier Reef:Balancing conservation and multi-sector fishery objectives. Fisheries Research. 94(2008):315-329.doi: 10.1016/j.fishres.2008.07.013.
Martinez RER. 2008. Community involvement in marine protected areas:The case of Puerto Morelos reef, Me´xico. Journal of Environmental Management. 88(2008):1151-1160.doi: 10.1016/j.jenvman.2007.06.008.
Novaczek I, Sopacua J, Harkes I. 2001. Fisheries management in Central Maluku, Indonesia, 1997–98. Marine Policy. 25(2001):239-249.
Ounanian K, Delaney A, Raakjær J, Monsalve PR. 2012. On unequal footing: Stakeholder perspectives on the marine strategy framework directive as a mechanism of the ecosystem-based approach to marine management. Marine Policy. 26(2012):658-666.doi: 10.1016/j.marpol.2011.10.008.
Patlis J. New legal initiatives for natural resource management in a changing Indonesia: the promise, the fear and the unknown. In: Resosudarmo BP, editor. The politics and economics of Indonesia’s natural resources. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies; 2005. p. 231–47.
Petrosillo I, Zurlini G, Corlian ME, Zaccarelli N, Dadamo M. 2007. Tourist perception of recreational environment and management in a marine protected area. Landscape Urban Planning. 79(2007):29-37.doi: 10.1016/j.landurbplan.2006.02.017.
Pulina M, Meleddu M. 2012. Defining a marine protected area strategy: A stakeholder perspective. Ocean Coastal Management. 66(2012):46-55.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.05.003.
Reed MS. 2008. Stakeholder participation for environmental management: A literature review. Biology Conservation. 141(2008):2417-2431.doi: 10.1016/j.biocon.2008.07.014.
Ruckelshaus M, McKenzie E, Tallis H, Guerry A, Daily G, Kareiva P, Polasky S, Ricketts T, Bhagabati N, Wood SA et al. 2013. Notes from the field: Lessons learned from using ecosystem service approaches to inform real-world decisions. Ecology Economic. Fortcoming.
Satyanarayana B, Mulder S, Jayatissa LP, Guebas FD. 2013. Are the mangroves in the Galle-Unawatuna area (Sri Lanka) at risk? A social-ecological approach involving local stakeholders for a better conservation policy. Ocean Coastal Management. 71(2013):225-237.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2012.10.008.
Schomers S, Matzdorf B. 2013. Payments for ecosystem services: A review and comparison of developing and industrialized countries. Ecosystem Services. Forthcoming
Schlager E, Ostrom E, 1992. Property rights regimes and natural resources:a conceptual analysis. Land Economics. 68(1992):249-262.
Siregar M. 2011. Peran Stakeholder Terhadap Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Teluk Cendrawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Soedharma D. 1999. Pengelolaan dan Konservasi Terumbu Karang. Bahan Kuliah IKL.722. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stamieszkin K, Wielgus J, Gerber LR. 2009. Management of a marine protected area for sustainability and conflict resolution: Lessons from Loreto Bay National Park (Baja California Sur, Mexico). Ocean Coastal Management. 52(2009):449-458.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2009.07.006.
Suana IW, Ahyadi H. 2012. Mapping of Ecosystem Management Problems in Gili Meno, Gili Air and Gili Trawangan (Gili Matra) Through Participative Approach. Coastal Development (16) 2012 : 94-101
Stoorvogel JJ, Antle JM, Crissman CC, Bowen W. 2001. The Tradeoff Analysis Model Version 3.1: A Policy Decision Support System for Agriculture. Wageningen: Laboratory of Soil Science and Geology, Wageningen University, The Netherlands. (ISBN: 90-6754-660-7)
Sultana P, Abeyasekera S. 2008. Effectiveness of participatory planning for community management of fisheries in Bangladesh. Journal of Environmental Management. 86(2008):201-213.doi: 10.1016/j.jenvman.2006.12.027.
Thorburn CC. 2000. Changing Customary Marine Resource Management Practice and Institutions: The Case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia. World Development. 28(8):1461-1479.
Voyer M, Dreher T, Gladstone W, Goodall H. 2013. Who cares wins: The role of local news and news sources in influencing community responses to marine protected areas. Ocean Coastal Management. 85(2013):29-38.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2013.09.002.
Winara A, Mukhtar AS. 2011. Potency of Collaborative on Cenderawasih Bay National Park Management in Papua. Jurnal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam. 3(2011):217-226.
Wulandari, Sumarti T. 2011. Impementation of Colaborative Management on Community Based Ecotourism. Jurnal Transformasi Sosiologi Komunikasi dan Ekologi Manusia.01(2011):32-50.
Yang CM, Li JJ, Chiang HC. 2011. Stakeholders’ perspective on the sustainable utilization of marine protected areas in Green Island, Taiwan. Ocean Coastal Management. 54(2011):771-780.doi: 10.1016/j.ocecoaman.2011.08.006.
Young JC, Jordan A, Searle KR, Butler A, Chapman DS, Simmons P, Watt AD. 2013. Does stakeholder involvement really benefit biodiversity conservation?. Biology Conservation. 158(2013):359-370.doi: 10.1016/j.biocon.2012.08.018.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya..